Boat Plane ke Rinjani: Solusi Inovatfi atau Ancaman Ekologis?

Berita, Peristiwa187 Dilihat

JANGKARNTB.Com. Gagasan PT. Solusi Pariwisata Inovatif (SPI) menghadirkan boat plane atau pesawat amfibi menuju kawasan Rinjani, yang akhir-akhir ini mencuat ke publik, menimbulkan pertanyaan serius: Apakah ini sebuah solusi inovatif dalam pengembangan pariwisata NTB, atau justru menjadi ancaman ekologis baru bagi gunung suci yang sudah lama menjadi simbol keseimbangan alam dan spiritualitas masyarakat sasak?.

Sebagai pegiat advokasi dan pengawal hak masyarakat adat serta lingkungan hidup, saya memandang bahwa ide boat plane ke Rinjani melanggar amanat konstitusi, khususnya Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dalam konteks ini, Rinjani bukan sekadar objek wisata, melainkan ruang hidup ekologis dan spiritual yang harus dijaga untuk kepentingan rakyat banyak, bukan untuk kepentingan segelintir pemodal atau turis eksklusif.

Gagasan menghadirkan boat plane ke kawasan sensitif seperti Segara Anak berpotensi menggeser orientasi pengelolaan sumber daya alam dari kepentingan publik menjadi komoditas pariwisata komersial, yang dikuasai oleh investor atau pihak asing. Ini bertentangan dengan prinsip “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dengan demikian, proyek semacam ini justru mencerminkan pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat atas sumber daya alamnya sendiri.

Pernyataan bahwa boat plane akan mempercepat akses wisatawan dan mendongkrak jumlah kunjungan hanyalah sebagian kecil dari realitas yang kompleks. Apakah percepatan kunjungan itu akan sebanding dengan kerusakan kawasan hutan, polusi suara, dan gangguan ekosistem satwa liar? Boat plane bukan tak mungkin menjadi awal dari over-tourism dan komersialisasi liar yang tak terkendali. Pembangunan tidak boleh menutup mata pada nilai-nilai spiritualitas dan ekologis. Boat plane bukanlah kemajuan jika yang dikorbankan adalah hutan, air, dan masa depan generasi yang menggantungkan hidupnya dari gunung rinjani.

Selain itu, kehadiran boat plane juga berpotensi menghilangkan pekerjaan masyarakat lokal yang selama ini menggantungkan hidup dari kegiatan ekonomi tradisional dan pariwisata berbasis komunitas. Pemandu lokal, porter, tukang ojek, pemilik homestay, penjual makanan, hingga petani yang membuka akses pangan di sekitar jalur pendakian, semuanya terancam kehilangan mata pencaharian akibat bergesernya pola kunjungan wisatawan yang lebih eksklusif dan tidak lagi menyentuh basis ekonomi masyarakat lokal.

Jika arus wisata dimonopoli oleh sistem transportasi udara eksklusif, maka masyarakat lokal akan kembali menjadi penonton di atas tanahnya sendiri. Bukannya mendatangkan kesejahteraan, proyek ini justru bisa memunculkan kesenjangan ekonomi baru dan memperkuat ketimpangan struktural antara pemodal dan warga sekitar kawasan Rinjani. Padahal, semangat dari Pasal 33 UUD 1945 adalah memastikan bahwa setiap bentuk pemanfaatan kekayaan alam harus membawa manfaat langsung dan berkelanjutan bagi rakyat.

Selain itu, UUD 1945 Pasal 28H Ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” menjadi dasar konstitusional yang jelas dalam menolak proyek boat plane ke Rinjani. Jika proyek ini dilanjutkan tanpa kajian lingkungan yang komprehensif dan tanpa persetujuan masyarakat lokal, maka negara secara tidak langsung telah mengabaikan hak rakyat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diatur dalam pasal tersebut. Gangguan terhadap habitat satwa, ancaman terhadap sumber mata air, hingga kebisingan dan polusi dari aktivitas boat plane jelas bertentangan dengan semangat perlindungan ekologis yang dijamin oleh konstitusi.

Rinjani bukan sekadar destinasi wisata; Rinjani adalah ruang hidup ekologis, spiritual, dan sosial bagi masyarakat adat dan lokal yang telah merawatnya secara turun-temurun. Gagasan menghadirkan boat plane ke kawasan ini bukan hanya bertentangan dengan logika pelestarian lingkungan, tetapi juga melanggar amanat konstitusi yang menjamin hak atas lingkungan hidup yang sehat dan pengelolaan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat, sebagaimana tercantum dalam Pasal 28H dan Pasal 33 UUD 1945.

Kita tidak menolak kemajuan. Namun, kemajuan yang meminggirkan rakyat, merusak alam, dan menjual keindahan kepada segelintir orang bukanlah pembangunan, itu adalah pengkhianatan. Sebagai pegiat advokasi dan penjaga ruang hidup rakyat, saya mengajak seluruh elemen masyarakat sipil untuk bersama-sama menolak rencana boat plane ke Rinjani. Kita harus memastikan bahwa pembangunan tidak dilakukan dengan mengorbankan masa depan generasi yang akan datang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *